Cerita anak di waktu petang

08:32 Faris Budi 0 Comments


Suatu hari ketika sore datang, anak-anak memakai baju yang rapi dan semangat untuk mengaji, menuntut ilmu untuk bekal di masa datang. Ya suasana, mengaji tiap sore, tiap malam, pernah saya jalani pada saat saya duduk di bangku SD kelas 1, dan Alhamdulillah ternyata semua yang dilalui benar-benar terasa di ¼ abad umur saya.
Ya, mengaji itu menyenangkan, itulah yang saya rasakan sampai saat ini. Bogor, 9 Agustus 2014 ketika salah satu ustad tidak jadi mengajar karena kesibukannya, anak-anak ingin pulang karena libur, alhamdulillah saya mencoba untuk mengajar, menggantikan pak ustad, meski secara kualitas jauh. Hehehe
Hanya ada 5 orang yang tetap bertahan, putri semua: Agnes (9 tahun), Aira (5 tahun), Aminah (11 tahun), Naila (8 tahun), dan Najmah (10 tahun). Karena umur yang beragam, saya hanya sekedar menanyakan dasar-dasar tentang cita-cita, kebiasaan sehari-hari, sholat, wudhu, dan test membaca quran.
Tentang cita-cita, alhamdulillah beragam, ada yang pengen jadi dokter, guru, bahkan uztadzah. Lanjut ke pertanyaan selanjutnya, tentang bangun pagi. Disinilah saya mulai terkejut, ya meski umurnya masih beragam, tetapi ternyata kebiasaan sholat subuh masih tidak semua dilakukan. Mengukur kembali ingatan, tetapi samar-samar untuk mampu mengingat apakah dulu di umur seperti mereka saya sholat subuh, tetapi yang pasti saya selalu di bangunkan dengan di ciprat pakai air. Ya itulah kebiasaan pagi saya, agar disiplin bangun dan sholat subuh.
Latihan yang selanjutnya, praktik sholat. Dalam praktik ini ternyata semuanya belum hafal untuk niat sholatnya, baik bahasa arab maupun bahasa indonesia. Padahal menurut saya, ada beberpa yang seharusnya sudah siap sholat, dan mereka sudah lelah baru hanya berdiri sebentar. Langsung saya coba untuk membaca juz ‘ama (Surat-surat Pendek di Juz 30). Salah satu anak yang bercita-cita ingin menjadi uztadzah lancar membaca, sementara yang lain ketika surat yang di hafal memang lancar, tetapi ketika berpindah ke surat yang baru belum dihafal ya sama sekali terbata-bata bahkan ada yang tidak bisa membaca.
Ya semoga ini hanya, sampel yang tidak benar. Karena hanya lima orang dan bukan referensi yang baik untuk di publish sebenarnya. Tetapi hal ini patut menjadi perhatian, budaya instan, kurang survival memang harus mulai kita tinggalkan. Dengan sampel kecil ini, ada hal yang perlu diperhatikan. Yaitu segarisnya antara pintarnya mengaji dengan pintarnya di kelas. Ya inilah keberhasilan orang tua mendidik anaknya, dan yang satu menonjol ini, yang bercita-cita sebagai uztadzah bersekolah di tempat yang berbeda pula. Dan kebiasaan orang tualah yang mampu mencerminkan anak-anaknya.
Tulisan kecil ini semoga menjadi pelajaran bagi kita, bagaimana kebiasaan kita saat ini merupakan akumulasi dari kebiasaan kita saat dulu, dan kompetensi, kemampuan, perilaku, serta sikap-sikap kita terhadap fenomena sehari-hari juga merupakan pembelajaran yang akan terus berkembang dan tumbuh seiring dengan umur kita. Anak adalah cerminan dari orang tuanya dan keberhasilan anak tergantung pola pendidikan yang dilakukan sehari-hari.



0 comments: