Cerita anak di waktu petang
Suatu hari ketika sore datang, anak-anak memakai baju yang
rapi dan semangat untuk mengaji, menuntut ilmu untuk bekal di masa datang. Ya
suasana, mengaji tiap sore, tiap malam, pernah saya jalani pada saat saya duduk
di bangku SD kelas 1, dan Alhamdulillah ternyata semua yang dilalui benar-benar
terasa di ¼ abad umur saya.
Ya, mengaji itu menyenangkan, itulah yang saya rasakan
sampai saat ini. Bogor, 9 Agustus 2014 ketika salah satu ustad tidak jadi
mengajar karena kesibukannya, anak-anak ingin pulang karena libur,
alhamdulillah saya mencoba untuk mengajar, menggantikan pak ustad, meski secara
kualitas jauh. Hehehe
Hanya ada 5 orang yang tetap bertahan, putri semua: Agnes (9
tahun), Aira (5 tahun), Aminah (11 tahun), Naila (8 tahun), dan Najmah (10
tahun). Karena umur yang beragam, saya hanya sekedar menanyakan dasar-dasar
tentang cita-cita, kebiasaan sehari-hari, sholat, wudhu, dan test membaca
quran.
Tentang cita-cita, alhamdulillah beragam, ada yang pengen
jadi dokter, guru, bahkan uztadzah. Lanjut ke pertanyaan selanjutnya, tentang
bangun pagi. Disinilah saya mulai terkejut, ya meski umurnya masih beragam,
tetapi ternyata kebiasaan sholat subuh masih tidak semua dilakukan. Mengukur
kembali ingatan, tetapi samar-samar untuk mampu mengingat apakah dulu di umur
seperti mereka saya sholat subuh, tetapi yang pasti saya selalu di bangunkan
dengan di ciprat pakai air. Ya itulah kebiasaan pagi saya, agar disiplin bangun
dan sholat subuh.
Latihan yang selanjutnya, praktik sholat. Dalam praktik ini
ternyata semuanya belum hafal untuk niat sholatnya, baik bahasa arab maupun
bahasa indonesia. Padahal menurut saya, ada beberpa yang seharusnya sudah siap
sholat, dan mereka sudah lelah baru hanya berdiri sebentar. Langsung saya coba
untuk membaca juz ‘ama (Surat-surat Pendek di Juz 30). Salah satu anak yang
bercita-cita ingin menjadi uztadzah lancar membaca, sementara yang lain ketika
surat yang di hafal memang lancar, tetapi ketika berpindah ke surat yang baru
belum dihafal ya sama sekali terbata-bata bahkan ada yang tidak bisa membaca.
Ya semoga ini hanya, sampel yang tidak benar. Karena hanya
lima orang dan bukan referensi yang baik untuk di publish sebenarnya. Tetapi hal
ini patut menjadi perhatian, budaya instan, kurang survival memang harus mulai
kita tinggalkan. Dengan sampel kecil ini, ada hal yang perlu diperhatikan. Yaitu
segarisnya antara pintarnya mengaji dengan pintarnya di kelas. Ya inilah
keberhasilan orang tua mendidik anaknya, dan yang satu menonjol ini, yang
bercita-cita sebagai uztadzah bersekolah di tempat yang berbeda pula. Dan kebiasaan
orang tualah yang mampu mencerminkan anak-anaknya.
Tulisan kecil ini semoga menjadi pelajaran bagi kita,
bagaimana kebiasaan kita saat ini merupakan akumulasi dari kebiasaan kita saat
dulu, dan kompetensi, kemampuan, perilaku, serta sikap-sikap kita terhadap
fenomena sehari-hari juga merupakan pembelajaran yang akan terus berkembang dan
tumbuh seiring dengan umur kita. Anak adalah cerminan dari orang tuanya dan
keberhasilan anak tergantung pola pendidikan yang dilakukan sehari-hari.
0 comments: